/* CURSOR CSS GENERATOR - FRIENDSTER-TWEAKERS.COM */ body { cursor:url("http://cursor.com/images/10a.gif"),default;}

Senin, 18 April 2011

POLITIK HUKUM PEMBERANTAS KORUPSI

Pemberantasan korupsi sejak era Reformasi telah melalui beberapa tahapan.Tahapan pertama pada 1998-2002, melaksanakan kebijakan hukum dalam pemberantasankorupsi untuk memenuhi janji reformasi, terutama terhadap mantan presiden Soehartodan kroni-kroninya, dan dilanjutkan dengan pembangunan bidang hukum yang meliputiempat bidang, yaitu hukum di bidang ekonomi, keuangan, dan perbankan; hukum dibidang politik; hukum di bidang sosial; serta hukum di bidang hak asasi manusia.
Seluruh perundang-undangan dalam keempat bidang hukum tersebut telah diselesaikandalam kurun waktu empat tahun pertama, disusul dengan beberapa perubahan atasperundang-undangan tersebut, yang telah terjadi dalam kurun waktu dua tahunselanjutnya sampai 2004.
Pembentukan hukum dan perubahan-perubahan yang kemudian telah dilakukantampaknya belum dapat dilihat keberhasilannya dalam kurun waktu empat tahun tahap kedua ( 2004-2008 ), sekalipun dalam penegakan hukum dan regulasi dalam bidanghukum ekonomi, keuangan, dan perbankan telah menunjukkan hasil yang signifikanuntuk memacu peningkatan kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi para pelakuusaha.
Penekanan untuk memacu arus penanaman modal asing lebih mengemukadibanding perlindungan hukum dan kepastian hukum, baik terhadap pelaku usahapribumi maupun asing. Masalah kontroversial dalam pembangunan bidang hukumekonomi, keuangan, dan perbankan masih akan terus berlanjut sehubungan dengan belumadanya kejelasan politik hukum yang akan dijalankan pemerintah sejak era Reformasi sampai akhir 2007. Hal ini tidak mudah karena masih belum ada penafsiran hukum yangsama di antara pengambil keputusan dan para ahli terhadap bunyi ketentuan Pasal 33Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945
Ketidakjelasan tersebut juga disebabkan oleh semakin lemahnya landasan falsafahPancasila yang digunakan untuk berpijak dalam menghadapi perkembangan cepat arusliberalisme dan kapitalisme internasional. Pancasila sebagai landasan ideologi bangsaIndonesia saat ini tengah mengalami krisis identitas. Keadaan serius bangsa Indonesiasebagaimana diuraikan di atas berdampak besar terhadap setiap kebijakan hukum danpenegakan hukum yang akan dilaksanakan pemerintah, siapa pun pemimpin nasionalnya.
Salah satu dampak yang telah teruji kebenarannya adalah kebijakan hukum danpenegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Refleksi gerakan pemberantasankorupsi sejak kuranglebih 52 tahun yang lampau sarat dengan tujuan memberikanpenjeraan dengan penjatahan hukuman seberat-beratnya kepada para pelaku korupsidisertai keinginan keras untuk sebesar-besarnya memberikan kemanfaatan bagipengembalian keuangan negara yang telah diambil pelakunya.
Tujuan dimaksud tampak nyata secara normatif dalam empat langkah perubahanketentuan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi ( 1971-2001 ), antara lain, ancamanhukuman ditetapkan minimum khusus dan pemberatan ancaman hukuman sepertiga dariancaman pidana pokok, terutama terhadap pelaku penyelenggara negara dan penegakhukum. Selain itu, kerugian (keuangan) negara telah ditetapkan menjadi salah satu unsurpenentu ada-tidaknya suatu tindak pidana korupsi.
Pola kebijakan legislasi tersebut secara nyata menampakkan filsafat kantianisme
di satu sisi dan filsafat utilitarianisme di sisi lainnya; dua pandangan filsafat yang berbeda
mendasar dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia sejak ditemukannya padaJuni 1945. Namun, kebi' jakan legislasi pemberantasan korupsi tersebut secara normatiftelah dilaksanakan tanpa hambatan-hambatan berarti sampai saat ini. Kendala serius yangmenghadang kebijakan legislasi tersebut justru terletak pada faktor-faktor nonhukum danpola penegakan hukum yang belum secara maksimal diharapkan dapat menimbulkanharmonisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kultur bangsa Indonesia tidaklah sama dengan bangsa-bangsa lain didunia, karena masalah harmonisasi kehidupan dan hubungan interpersonalternyata masih menentukan keberhasilan suatu perencanaan/program dalammencapai tujuannya.
Kultur bangsa Indonesia menabukan penyebarluasan aib di muka umum,apalagi dalam posisi hukum masih belum dinyatakan bersalah oleh kekuatansuatu putusan pengadilan. Gerak langkah pemberantasan korupsi yangmengedepankan "mempermalukan" di muka publik dengan aib yang melekatpada seseorang terbukti telah kontraproduktif dan antipati terhadap gerakanpemberantasan korupsi itu sendiri. Konsekuensi lanjutan yang tampak adalahresistansi menguat dan politisasi menajam terhadap setiap gerak langkahKejaksaan Agung dan Komisi
Pemberantasan Korupsi sejak pembentukannya. Penegakan hukumdalam pemberantasan korupsi di Indonesia telah berlangsung sejak tahun1960-an, dan telah berganti undang-undang sebanyak 4 ( empat ) kali, danterakhir dengan UU Nomor 20 tahun 2001. Sekalipun pergantian undang-undang sebanyak itu akan tetapi filosofi, tujuan dan misi pemberantasankorupsi tetap sama. Secara filosofis, peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi menegaskan bahwa, kesejahteraan bangsa Indonesiamerupakan suatu cita bangsa, dan sekaligus cita pendiri kemerdekaan RIyang dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945, dan diadopsi ke dalam silakelima dari Panca Sila.
Oleh karena itu setiap ancaman dan hambatan terhadap tercapainyakesejahteraan bangsa ini merupakan pelanggaran terhadap cita bangsa.Akan tetapi sebagai suatu negara hukum, langkah pencegahan danpemberantasan korupsi harus dilandaskan kepada asas kepastian hukum danseoptimalnya dilandaskan kepada cita keadilan sebagai cita hukum sejakzaman Yunani. Landasan yuridis, adalah UUD 1945 sebagai ”grund-norm”( hukum dasar ) yang seharusnya diwujudkan ke dalam suatu UU yangmencerminkan cita dan tujuan hukum sebagaimana diuraikan di atas. Perludikaji sejauh mana UU Pemberantasan Korupsi ( UUPK ) telah mencerminkanasas-asas hukum dan cita hukum dimaksud, akan diuraikan dalam tulisan ini.Landasan sosiologis dari penegakan hukum pemberantasan korupsi adalahbahwa, kemiskinan yang melanda kurang lebih 35-50 juta pendudukIndonesia masa kini adalah disebabkan karena korupsi yang telah bersifatsistemik dan meluas ke seluruh lapisan birokrasi ( 30 % dana APBN terkuraskarena korupsi ), dan tidak lepas dari pengaruh timbal balik antara birokrasidan sektor swasta.
Oleh karena itu, pemberantasan korupsi bukanlah sekedar aspirasimasyarakat luas melainkan merupakan kebutuhan mendesak ( urgent needs )bangsa Indonesia untuk mencegah dan menghilangkan sedapatnya dari bumipertiwi ini karena dengan demikian penegakan hukum pemberantasankorupsi diharapkan dapat mengurangi dan seluas-luasnya menghapuskan
kemiskinan. Bertolak dari ketiga landasan politik pemberantasan korupsi diIndonesia di atas jelas bahwa, langkah penegakan hukum pemberantasankorupsi merupakan kewajiban bersama bukan hanya penegak hukummelainkan juga seluruh komponen bangsa dengan bimbingan dan tauladanpara pemimpin bangsa ini mulai dari Presiden selaku kepala negara dankepala pemerintahan, wakil presiden sampai kepada pimpinan birokrasi didaerah, lembaga legislatif dan judikatif.
Tidak kurang pentingnya peranan masyarakat sipil ( civil society-cso )dalam mendorong, monitoring dan evaluasi keberhasilan pemberantasankorupsi. Namun demikian sesuai dengan landasan yuridis terutama UUD1945 khususnya berkaitan dengan hak asasi setiap warga negara ( Bab XAPasal 28 D ) maka langkah penegakan hukum pemberantasan korupsi jugaseharusnya dapat menjamin dan memelihara proteksi terhadap hak asasitersangka dan terdakwa serta terpidana korupsi, selain peningkatanefektivitas dan keberhasilan pemberantasan korupsi itu.

NAMA   : THERESIA
NPM      : 25209099
KELAS  : 2EB17

ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI DAN BISNIS

Seiring dengan kemajuan zaman terutama kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin banyak muncul spesialisasi. Contoh yang mudah diketahui adalah di bidang kedokteran. Kalau dulu hanya dikenal dokter spesialis bedah maka sekarang bedah itu pun sudah terbagi-bagi. Demikian pula dalam ilmu-ilmu lain, termasuk ilmu hukum adan ilmu ekonomi.
Akan tetapi seiring dengan hal-hal di atas sesungguhnya telah terjadi juga semakin keterkaitan bahkan ketergantungan antara satu ilmu dengan ilmu lain.  Ilmu hukum tidak dapat lagi berjalan sendiri melainkan harus bergandengan tangan beriringan dengan ilmu-ilmu lain seperti sosiologi,